MONETER ISLAM I
Nama : USI ANJANI
NPM : 17030004
Kelas/ Mata kuliah :
III – A/ Ekonomi Islam
Dosen : Hilmiatus Sahla, SE.I, ME.I
Tambahan materi kelompok 7
“Kronologis
terjadinya krisis moneter di Indonesia pada tahun 1997-1998”
Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun
1997-1998 adalah stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya
berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini
diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan,
dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri
menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra
hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan
senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable).
Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah
sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung,
barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang
serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan
hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998).
Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda
krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban
dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu
bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di
negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai
tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang
memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka. Daya tarik dari
“dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal
masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity
purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990
menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya,
banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk
sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru
masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan
Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang
terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi,
tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan
ekonominasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang
terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
Sumber:(http://yelmanitablogaddress.blogspot.com/2017/06/soal-dan-jawaban-uas-ekonomi-moneter.htm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar